Manokwari, PAMARTANUSANTARA.CO.ID | Mata Garuda Papua Barat dan Lentera Indonesia Institute menilai Tanah Papua dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik agar dapat mengelola sumber daya tersebut. Potensi sumber daya manusia unggul, lahir dari pendidikan yang berkelanjutan sehingga menghasilkan SDM yang handal di bidangnya. Menurut mereka, tanah Papua merupakan daerah yang masih memegang teguh nilai-nilai adat dan budaya yang sangat kuat maka diharapkan agar SDM yang ada di Papua harus memegang teguh adat dan budaya yang ada di tanah Papua agar pembangunan di Papua dapat berjalan tanpa mengesampingkan warisan budaya yang sudah mengakar di kalangan masyarakat.
Lebih lanjut, menurut dua lembaga asal Papua ini, Orang Papua sebenarnya mempunyai budaya dalam hidup bersosial yang baik. Namun, hari ini penetrasi dan dampak negatif dari budaya luar semakin memprihatinkan. Minuman keras (miras), ganja, Lem fox dan penghasut, merupakan beberapa. Ini mungkin berangkat dr hidup berbudaya kita dalam kehidupan sosial yg semakin memudar – krisis-degradasi budaya. Yang dimaksudkan hidup berbudaya adalah nilai-nilai pribadi dalam berkeluarga, dalam berinteraksi sosial, pribadi dgn cara hidup yg positif dalam balutan budaya Papua. Oleh sebab itu, membangun Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendekatan Budaya demi menciptakan lingkungan bersosial yg kondusif & aman sangat diperlukan.
“Ini berarti kita siap mengaktifkan kembali dan berjalan bersama budaya leluhur dan menyerap budaya baru yang membawa hal positif dalam melihat sesuatu. Budaya baru tersebut adalah budaya memverifikasi atas kebenaran suatu informasi agar tidak secara mentah-mentah menelan berita yang belum tentu terbukti kebenarannya atau yang sekarang lebih dikenal dengan kata hoaks.”
Tidak mau berlarut dalam wacana saja, dua lembaga ini pun menggelar dialog kebangsaan dengan tema “Membangun SDM Papua Dengan Pendekatan Budaya”. Kegiatan ini dikemas dalam Talkshow dan dengan narasumber dari akademisi yaitu Dr. Yusuf Sawaki, staff dosen UNIPA dan juga sebagai Centre for Endangered Languages Documentation (CELD) ataulembaga pendokumentasian bahasa, Tokoh Agama yaitu Pdt. Sadrak Simbiak yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua Barat dan anak muda Papua yang merintis ojek online pertama di Manokwari, Reynold Redjauw Koordinator Oke Jack Manokwari.
Acara ini ramai dihadiri anak muda yang sebagian besar mahasiswa, komunitas (GENPI, Kitong Bisa, dll), karang taruna dan juga anggota DPR Aktif. Menurut penyelengara, secara umum dialog kebangsaan ini ingin memberikan wawasan dan informasi mengenai dunia pendidikan di jenjang Magister dan Doktoral. Dan juga, peserta dapat memahami pentingnya pengetahuan budaya dalam proses pembelajaran yang formal maupun non formal. Dan yang terpenting. Dapat menciptakan kedamaian di Tanah Papua.
Yusuf Sawaki, yang menjadi pembicara pertama, mengajak audiens yang kebanyakan anak-anak asli Papua untuk bisa menghilangkan rasa minder atau rasa malu yang selalu menjadi kebiasaan dari anak-anak asli Papua. Kenapa mereka selalu merasa minder atau malu jika berinteraksi dengan suku lain. Menurut Yusuf Sawaki, kita harus berani memberitahukan kepada masa depan tentang apa yang akan kita bisa lakukan.
Pendeta Sadrak Simbiak, yang juga menjadi pembicara dalam dialog kebangsaan ini bercerita pada saat melayani pada ibadah-ibadah syukuran kelulusan/wisuda, selalu mengatakan bahwa guru/dosen tugasnya hanya membantu kalian (baca: anak didik) untuk mengetahui kepandaiannya, potensi dirinya sendiri. Menurut, Pendeta Sadrak, anak-anak asli papua masih memelihara kebiasaan minder atau malu, tapi harus membentuk budaya rasa bersalah agar dapat mebentukcara berpikir kita untuk mau berusaha dan merasa bersalah jika tidak melakukan apa-apa atau bergaul dengan orang-orang yang akan menghancurkan mas depan anak-anak papua. Bagi Sadrak, anak-anak Papua, seperti halnya dia, harus banyak belajar dari agama lain tentang konsep ekonomi, misalnya ekonomi syariah yang dijalankan oleh saudara-saudara muslim.
Reynold Redjauw, dalam dialog kebangsaan ini mengatakan, UU OTSUS membuat pemikiran orang Papua berpikir menjadi lebih sempit dan menjadi kompetitor sehingga selalu menjadi pengemis kepada pemerintah. “Selalu menuntut tanpa mau bekerja,” tandasnya.
“Kita anak-anak asli Papua harus mau keluar dari zona nyaman dan mau bersaing di dunia usaha dengan warga nusantara yanga ada di Papua, jangan hanya selalu mengharapkan “proyek plat merah” dari pemerintah. Kita harus melihat titik balik dalam kehidupan ini agar dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri masing-masing tanpa melihat latar belakang pendidikan. Saya adalah lulusan peternakan tapi tidak menjalankan peternakan tapi dapat mengusahakan ojek online pertama yang ada di manokwari.”
Lebih lanjut menurut Reynold, bagaimana cara kita mengelola informasi yang baik juga sangat berpengaruh kepada cara kita menjalani kehidupan di Papua. Banyak anak-anak muda saat ini yang hanya berfokus pada informasi yang tidak penting di media sosial, sedangkan informasi yang positif jarang sekali dilirik atau dikomentari. Ini menunjukan bahwa kita masih suka melihat atau membicarakan hal yang negatif dari pada hal positif, jadi jangan kaget kalau terjadi konflik-konflik sosial yang ditimbulkan oleh berita-berita yang belum diketahui kebenarannya.
Salah satu audiens yang merupakan seorang akademisi, Tina Paiki memberikan saran terkait pendekatan budaya dalam dunia pendidikan terutama bagi akademisi. Jika porsi teori yang terlalu besar di dunia kampus, maka akan susah untuk membentuk karakter enterpreneurship dalam jiwa mahasiswa, terutama mahasiswa papua.
Ada juga narasumber yang bertanya bagaimana cara mempertahankan budaya kita di era globalisasi dan modern ini, dimana pengaruh budaya dari luar sangatlah besar.
Bagaimana mengahadapi tantangan untuk bergerak dibidang ojek online dan macam-macam pertanyaan yang lainnya terkait budaya Papua.
Salah satu peserta, Rinjani, yang adalah psikolog, mengatakan bahwa selama dia 15 tahun di Manokwari baru pertama kali mengikuti acara yang sangat menginspirasi anak-anak muda karena masing-masing narasumber walaupun berlatar belakang yang berbeda-beda namun mempunyai psikologi yang positif, dan sangat membuka wawasan peserta yang hadir pada malam ini.
Beberapa peserta juga menyampaikan pengalaman bekerja dilapangan yang langsung berhadapan dengan masyarakat Papua yang masih memelihara budaya asli Papua. [Sauqi]
